Pendampingan Desa Bukan Mesin Anti Politik
Pendampingan Desa Bukan Mesin Anti Politik - Pemerintah akan segera
memobilisasi fasilitator atau pendamping untuk menjalankan pendampingan desa,
sebagai bentuk pelaksanaan amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa. Dalam diskusi para pihak di berbagai ruang dan tempat, pendampingan desa berpijak
kepada dua argumen dan tujuan. Pertama, pendampingan desa merupakan tindakan
meningkatkan kemampuan desa dalam mengelola pemerintahan, pembangunan,
pemberdayaan, dan kemasyarakatan. Kedua, banyak pihak khawatir dana desa yang
diamanatkan UU desa tak efektif dan berpotensi menimbulkan korupsi
besar-besaran oleh kepala desa. Karena itu, pendampingan desa merupakan
tindakan untuk mengawal efektivitas dan akuntabilitas dana desa.
Kapasitas, efektivitas, dan akuntabilitas harus
menjadi perhatian serius dalam pendampingan desa. Tetapi, pengutamaan ketiga
aspek itu bisa membuat pendampingan, seperti halnya pemerintahan, pembangunan,
dan pemberdayaan, terjebak pada apa yang disebut James Ferguson (1990) sebagai
“mesin anti politik”. Dalam The Anti-Politics Machine: Development,
Depoliticization, and Bureaucratic Power in Lesotho, Ferguson menunjukkan
pembangunan sebagai nilai utama telah gagal membawa kesejahteraan rakyat.
Mengapa?
Pembangunan adalah instrumen teknis, proyek dan
industri yang anti politik. Di satu sisi, pembangunan adalah instrumen
representasi ekonomi dan rekayasa sosial yang mengabaikan representasi politik.
Depolitisasi dilakukan dengan mengabaikan realitas dan aspirasi politik,
menyingkirkan rakyat dari politik, sekaligus menggiring mereka sibuk dalam
dunia sosial dan ekonomi. Di sisi lain pembangunan dirancang canggih oleh
teknokrat dan dijalankan oleh birokrat untuk ekspansi kekuasaan birokrasi
negara. Dengan demikian, mesin anti politik mengandung depolitisasi (kebijakan,
pembangunan dan rakyat) dan ekspansi kontrol birokrasi negara.
Anti politik
Karya Ferguson itu tentu sudah kedaluwarsa, tetapi
penting saya angkat sebagai perspektif kritis atas jebakan teknokratis-birokratis
dalam pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan, dan juga pendampingan desa.
Belajar dari pengalaman pendampingan program nasional pemberdayaan masyarakat
(PNPM) dan proyek-proyek sejenis selama ini, ada sejumlah gejala operasi mesin
anti politik.
Pertama, pendampingan merupakan perangkat teknokratik
untuk mengamankan uang dalam bentuk bantuan langsung masyarakat (BLM) dan
menyukseskan target artifisial yang telah digariskan proyek. Para pendamping
mengajarkan hal-hal teknis-administratif proyek kepada orang desa mulai dari
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan sampai pelaporan proyek. Lalu masyarakat
desa tampil sebagai operator mesin pengelolaan uang dan proyek.
Kedua, pendampingan mengedepankan partisipasi, tetapi
mengandung depolitisasi rakyat. Baik pengelolaan proyek maupun pendampingan
mengabaikan edukasi politik dan penguatan representasi politik rakyat.
Pendamping tak mendidik dan mengorganisasikan rakyat agar berdaya dalam
memperjuangkan hak dan kepentingan mereka. Sekalipun ada partisipasi, yang
terjadi adalah mobilisasi partisipasi dalam pengelolaan proyek.
Ketiga, pendampingan digerakkan dan dikendalikan oleh
mesin birokrasi dengan petunjuk teknis operasional (PTO). Para pendamping tak
hadir sebagai katalisator perubahan, tetapi hanya menjadi mandor proyek yang
harus patuh pada PTO sehingga tak tumbuh menjadi wirausaha sosial yang kreatif
dan mandiri. Pendampingan tentu telah memberikan kontribusi besar terhadap
cerita sukses proyek PNPM, seperti infrastruktur fasilitas publik, pembesaran
dana bergulir, pelembagaan instrumen good governance dalam pengelolaan proyek,
peningkatan kemampuan masyarakat dalam pengelolaan proyek, serta kebocoran dana
proyek yang mendekati titik nol. Tetapi, kesuksesan itu hanya terbatas pada
proyek, tak berdampak besar secara organik dalam tatanan kehidupan desa.
Instrumen good governance hanya dipakai dalam proyek,
tetapi tak berdampak dalam pemerintahan desa. Tingkat kebocoran sangat rendah
bukan berarti tumbuh kultur anti korupsi, tetapi hanya pertanda keberhasilan
mengamankan dana proyek. Terbukti masyarakat sangat gemar politik uang dalam
setiap proses elektoral. Peningkatan kemampuan hanya terjadi dalam pengelolaan
proyek, tetapi kemampuan desa secara organik dalam mengelola pembangunan tak
tumbuh baik. Wirausaha lokal tak tumbuh signifikan. PNPM hanya mampu membangun
istana pasir, sekaligus sebagai proyek yang menyenangkan, tetapi tak
menolong/berdayakan rakyat.
Propolitik
Saya berulang kali berdiskusi tentang pendampingan
desa dengan Menteri Marwan Jafar maupun tim teknokrat-birokrat di Kementerian
Desa, PDT, dan Transmigrasi. Kami membangun sebuah pemahaman bahwa pendampingan
desa bukan perkara proyek dan teknis-manajerial yang anti politik, tetapi harus
mengandung politik. Propolitik bukan dalam pengertian mesin politik, tetapi
pendampingan desa harus mengandung jalan ideologis sesuai dengan UU desa,
representasi politik, serta pemberdayaan, dan edukasi politik.
Pertama, Marwan berulang kali menegaskan pendampingan
desa jangan terjebak pada proyek, tetapi harus menjadi jalan ideologis
memuliakan dan memperkuat desa, termasuk mewujudkan idealisme Nawacita di ranah
desa, dengan spirit “Desa Membangun Indonesia”. Kami menjabarkan gagasan ini
dengan menegaskan bahwa pendampingan desa bukan sekadar berurusan dengan
kapasitas dan efektivitas, tetapi hendak mempromosikan desa sebagai “masyarakat
berpemerintahan” (self governing community) yang maju, kuat, mandiri, dan
demokratis.
Kedua, pendampingan merupakan jalan perubahan yang
mengandung repolitisasi rakyat. Repolitisasi ini bukan membuat rakyat menjadi
mesin politik atau mobilisasi partisipasi, tetapi memperkuat representasi
politik rakyat agar punya kesadaran kritis dalam dunia politik dan berdaulat
dalam hak dan kepentingan mereka. Salah satu indikator kesadaran kritis adalah
tumbuhnya sikap dan tindakan orang desa menolak (anti) politik uang.
Ketiga, pendampingan tak ditempuh dengan pembinaan
(power over) melainkan pemberdayaan (empowerment). Pembinaan adalah pendekatan
dari atas yang menumbuhkan mentalitas memerintah, kontrol, dan ekspansi
birokrasi terhadap desa dan masyarakat. Sedangkan pemberdayaan adalah
pendekatan untuk memperkuat desa dan rakyat secara sosial, budaya, ekonomi,
politik.
Keempat, setiap aktivitas desa (musyawarah desa,
perencanaan dan penganggaran, pemilihan kepala desa, dan sebagainya), yang
memperoleh sentuhan pendampingan, tak boleh terjebak pada penggunaan alat dan
menghasilkan dokumen semata tanpa ada sentuhan filosofis (roh). Pendampingan
terhadap seluruh aktivitas desa harus disertai edukasi sosial dan politik
secara inklusif dan partisipatoris. Dalam perencanaan desa, misalnya tak hanya
berhenti pada penyusunan dokumen perencanaan yang akan dijabarkan jadi agenda
proyek.
Di balik perencanaan desa ada pembelajaran bagi orang
desa membangun impian kolektif dan mandiri mengambil keputusan politik.
Demikian juga sistem informasi desa (SID) yang kaya data, aplikasi dan disertai
jaringan online. SID tak hanya alat dan teknologi. Di balik SID ada
pembelajaran bagi orang desa untuk membangun kesadaran kritis terhadap diri
mereka sendiri sekaligus memperkuat representasi hak dan kepentingan rakyat.
Sutoro Eko, Guru Desa, Perancang UU Desa
Posting Komentar untuk "Pendampingan Desa Bukan Mesin Anti Politik "