Suara Hati Eks PNPM Menyoal Rekrutmen Pendamping Desa
Suara Hati Eks PNPM Menyoal Rekrutmen Pendamping Desa - Sejak Aliansi Forum
Pendamping Dana Desa (AFPDS) melakukan aksi damai di depan Istana Negara dan
dilanjutkan ke depan Gedung MPR-DPR RI, 23 Maret lalu, kisruh terkait pendamping dana desa tampaknya
semakin memanas. AFPDS, yang merupakan tenaga pendamping dana desa yang berasal
dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM MPd),
menuduh bahwa Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
tidak becus menjalankan amanah implementasi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Setidaknya, ada dua hal besar yang menjadi pemicu kisruh ini terjadi. Pertama,
proses rekrutmen pendamping desa yang dianggap penuh kecurangan dan berbau KKN.
Kedua, adanya rencana seleksi ulang bagi para pendamping dan tenaga ahli dengan
latar belakang PNPM Mandiri yang akan berakhir masa kontraknya pada 31 Maret
2016.
dok. Demonstrasi Eks PNPM di Silang Monas Jakarta |
Untuk yang pertama, penulis sangsi kalau dalam
pelaksanaan rekrutmen pendamping desa banyak terjadi kecurangan dengan
meloloskan orang-orang yang tidak kompeten dan tidak memenuhi kualifikasi yang
berasal dari organisasi penulisp Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), tempat
Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi bernaung. Di era digital sekarang, di mana
semua orang bisa berbicara, bahkan memaki presiden sudah menjadi hal biasa,
informasi mudah tersebar ke jaring-jaring media online dan media sosial, sangat
naïf apabila Kementerian Desa melakukan hal yang dituduhkan. Terlalu besar taruhannya: Jabatan Menteri
Desa yang dipegang kader PKB terancam lepas.
Namun, mengabaikan suara-suara sumbang terkait proses
rekrutmen yang dinilai tidak transparan, tidak sesuai prosedur dan sarat KKN,
yang berseliweran hingga menembus tembok istana, tidak bisa dibiarkan begitu
saja. Bantahan para pejabat di Kementerian Desa tidak cukup mampu meredamnya.
Perlu ada proses klarifikasi yang dilakukan oleh pihak netral yang ditugaskan
Presiden langsung agar isunya tidak berkembang dan dimainkan oleh pihak-pihak
yang ingin mengambil keuntungan.
Penulis yakin, Presiden Joko Widodo akan sangat
responsif terhadap isu yang menggangu pelaksanaan Nawacita ketiganya. Apalagi,
Menseskab Pramono Anung telah berjanji kepada perwakilan pengunjuk rasa untuk
menyampaikan aspirasi mereka kepada Presiden.
Mengenai yang kedua, yaitu seleksi ulang pendamping
dan tenaga ahli dengan latar belakang PNPM MPd, kegelisahan para pendamping
dana desa eks PNPM MPd terkait rencana rekrutmen setelah berakhir masa kontrak
beberapa hari ke depan menarik untuk diulas. Selintas, tampak mereka minta
diistimewakan. Tentu ada alasan ketika mereka menuntut privilege tersebut. Proses
rekrutmen yang tidak mereka percayai akan berlangsung fair, sebagaimana isu
pertama di atas, menjadi salah satu alasannya.
Namun, sebelum lebih lanjut membahas masalah ini,
penulis terlebih dulu ingin mengulas tentang PNPM. Hal ini penting, karena dari
kisruh yang terjadi, "serangan" kemudian dialamatkan ke PNPM. Banyak
pengamat yang kemudian memojokkan PNPM. Sebagai pelaku PNPM, penulis merasa
perlu untuk memberi penjelasan tentang PNPM dan pandangan pribadi tentang
kisruh yang terjadi.
Metamorfosis PPK menjadi PNPM
Perjalanan panjang PNPM dimulai dari pelaksanaan
Program Pengembangan Kecamatan (PPK), sejak dari pilot project tahun 1997
hingga 2007, dan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) yang
dimulai dari 1999 hingga 2007. PNPM Mandiri
diluncurkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 30 April 2007 di Kota
Palu, Sulawesi Tengah. Program ini merupakan pengembangan yang lebih luas
(scaling up) dari program-program penanggulangan kemiskinan pada era-era
sebelumnya.
PNPM Mandiri digagas untuk menjadi payung (koordinasi)
dari puluhan program penanggulangan kemiskinan dari berbagai departemen yang
ada pada saat itu, khususnya yang menggunakan konsep pemberdayaan masyarakat
(community development) sebagai pendekatan operasionalnya. Pilar utama PNPM
Mandiri adalah PNPM Mandiri Perdesaan (PNPM MPd), yang merupakan pernyempurnaan
dari PPK, dan PNPM Mandiri Perkotaan, yang merupakan penyempurnaan dari P2KP.
Kedua progam tersebut merupakan program inti (core).
Artinya, program yang membangun sistem, proses, dan prosedur, serta wadah bagi
pemberdayaan masyarakat di setiap desa.
Sejak 2008, program inti
bertambah menjadi lima dan pemerintah juga menambahkan program-progam lain yang
dikelompokkan dalam PNPM yang bersifat sektoral. Selain itu, terdapat pula PNPM
yang skema kegiatannya terfokus pada
kelompok sasaran tertentu yang
ditambahkan pada PNPM inti, seperti PNPM Generasi Sehat dan Cerdas (GSC), yang
merupakan program pendukung PNPM MPd.
Lima Keunggulan
Sebagai konsultan PPK dan kemudian PNPM MPd serta
terakhir di GSC, penulis menilai bahwa setidaknya ada lima hal yang menjadi
keunggulan PPK, yang menjadikan program ini pantas untuk dicontoh dan diangkat
Presiden SBY menjadi program nasional untuk penanggulangan kemiskinan:
Pertama, alokasi dana simpan pinjam untuk kelompok
perempuan (SPP). Dana bantuan langsung masyarakat (BLM), salah satunya, digunakan untuk membiayai
kegiatan SPP. Konsepsi SPP menurut penulis sangat luar biasa. SPP dirancang
agar para perempuan di desa mempunyai solusi cepat atas masalah keuangan dalam
rumah tangganya dan terhindar dari jerat rentenir. Istilah yang digunakan
adalah mendekatkan "bank" kepada masyarakat miskin.
Pilihan hanya kepada kelompok perempuan didasarkan
pada penilaian bahwa perempuan dianggap paling miskin di antara yang miskin
karena peran gandanya dalam rumah tangga. Sebagai pengatur pengeluaran rumah
tangga, perempuan sering dihadapkan pada kenyataan bahwa dia tidak mempunyai
uang untuk membayar anak sekolah, biaya berobat, atau bahkan untuk kebutuhan
makan sehari-hari. Karena itulah SPP
dihadirkan dengan memberdayakan kelompok-kelompok perempuan yang ada di desa
untuk membuat kegiatan simpan pinjam.
Cikal bakal kelompok-kelompok itu bisa dari kelompok
pengajian, arisan, dan lain-lain, yang memiliki kegiatan simpan pinjam.
Kelompok-kelompok ini diberdayakan dan diberikan pinjaman modal agar menjadi
berkembang. Kegiatan simpan pinjam dalam kelompok SPP ini yang kemudian menjadi
tumpuan anggota ketika secara mendadak membutuhkan uang untuk kebutuhan rumah
tangganya.
Tidak banyak yang tahu tentang konsepsi awal dari SPP,
karena memang kegiatan SPP yang berjalan tidak sebagaimana konsep di atas.
Bukan karena adanya distorsi pemahaman, tapi memang konsep itu sulit dijalankan
karena di semua desa hampir tidak ditemukan kelompok perempuan yang memiliki
kegiatan simpan pinjam. Akhirnya, proses pendampingan dilakukan dengan
mengadvokasi para perempuan berhimpun membangun kelompok simpan pinjam.
Pinjaman kemudian diberikan langsung kepada individu
dalam kelompok, namun pengembalian
dilakukan melalui kelompok dengan memperbolehkan kelompok menambah bunga selain
bunga yang dikembalikan kepada Unit Pengelola Kegiatan (UPK) guna pemupukan
modal kelompok.
Dari kegiatan SPP yang berkembang di lapangan, program
membedakan kelompok SPP menjadi dua, yaitu kelompok channeling dan kelompok
executing. Sebagaimana diharapkan dalam penyusunan awal konsep kegiatan SPP,
keberadan kelompok executing akan menjadi jawaban anggota kelompok yang
terjepit masalah keuangan.
Kedua, pandangan terhadap pengaduan dan masalah.
Pengaduan dan masalah dalam PPK bukanlah hal yang tabu untuk diungkap dan
diekspose. Program menyediakan PO Box khusus bagi masyarakat untuk menyampaikan
pengaduan. Belakangan, pengaduan juga bisa disampaikan melalui fasilitatas SMS
Gateway. Selain itu, secara khusus, PPK melibatkan LSM dan media massa untuk melakukan kegiatan pemantauan. BPKP
juga dilibatkan untuk melakukan audit program.
Ketiga institusi tersebut sengaja dilibatkan untuk
melihat, melaporkan, dan mengekspose penyimpangan yang terjadi dalam
pelaksanaan program. Ditambah dengan aktivitas supervisi dan monitoring
konsultan dan fasilitator PPK, tercatat ada ribuan peyimpangan dalam matriks
masalah PPK. Kondisi ini tidak lantas menjadikan pelaksana program kebakaran
jenggot. Justru hampir 70% masalah yang
ada, ditemukan dan diungkap oleh fasilitator dan konsultan PPK sendiri. Tentu
ini sangat berbeda dengan program lain. Pelaksana program tidak akan pernah mengungkap
boroknya sendiri.
Dalam PPK, masalah tidak pernah dipandang sebagai hal
yang memalukan dan akan merusak citra program. Sebaliknya, PPK sebagai sebuah
program pemberdayaan dianggap tidak akan pernah berhasil mencapai tujuannya
tanpa adanya masalah dalam pelaksanaan programnya. Karena, masalah adalah wahana bagi
pemberdayaan itu sendiri.
Proses-proses penanganan masalah menjadi ruang
advokasi masyarakat. Penanganan masalah prinsip dan prosedur serta intervensi
negatif contohnya. Kedua kategori masalah tersebut mensyaratkan untuk mengulang
kegiatan apabila diketahui telah menyimpang dari prinsip dan prosedur atau
karena adanya intervensi dari para elite.
Namun, apabila tidak memungkinkan kegiatan diulang,
masyarakat harus dipahamkan bahwa kegiatan yang sudah dilakukan menyalahi
prinsip dan prosedur atau telah diintervensi elite sehingga hal yang sama tidak
boleh terjadi lagi di masa yang akan datang. Dari sini ruang advokasi terbuka
lebar melalui proses pemahaman tentang prinsip-prinsip dan prosedur yang memang
dirancang agar program dilaksanakan secara transparan, akuntabel dan melibatkan
partisipasi seluruh masyarakat, terutama perempuan, masyarakat miskin, dan kaum
marginal.
Ketiga, kultur dan norma yang berlaku bagi pelaku
program. PPK mengatur kode etik yang menjadi norma, nilai, dan aturan yang
boleh dan tidak boleh dilakukan oleh konsultan dan fasilitator. Pelaksanaan
sanksi terhadap pelanggaran kode etik ini tidaklah main-main. Tidak ada grade
pelanggaran kode etik yang akan membedakan bentuk hukuman. Besar maupun
kecil pelanggaran yang dilakukan maka
hukumannya adalah sama, yaitu PHK.
Selama PPK berjalan, tidak kurang 200 orang konsultan
dan fasilitator yang terkena PHK. Ada yang karena menggunakan uang (mengambil atau meminjam) atau
menjadi supplier barang untuk kegiatan PPK di desa. Beberapa orang juga
tercatat terkena PHK hanya karena membiarkan dan tidak melaporkan pelanggaran
kode etik yang diketahuinya dilakukan oleh rekan fasilitatornya.
Selain itu, konsultan dan fasilitator juga dilarang
untuk terlibat dalam politik praktis. Konsultan dan fasilitator yang ketahuan
menjadi anggota partai politik atau terlibat dalam kegiatan politik, misalnya
menjadi tim sukses salah calon gubernur, bupati, atau wali kota, akan terkena
sanksi PHK.
Keempat, seratus persen bantuan langsung masyarakat
(BLM) turun ke masyarakat. Salah satu keunggulan PPK adalah penyediaan dana
blockgrant sebagai dana BLM yang ditransfer langsung dari pusat, tanpa melalui
birokrasi yang panjang/ berjenjang dari nasional, provinsi, dan kabupaten,
sebagaimana lazim terjadi pada masa Orde Baru.
Mekanisme penyaluran dana BLM dirancang sedimikian rupa sehingga tidak
ada celah birokrat turut "menikmati" dana yang diperuntukkan bagi
masyarakat tersebut.
Dana program langsung masuk ke dalam rekening UPK dan
kemudian disalurkan kepada rekening tim pelaksana kegiatan (TPK) di desa untuk
digunakan membiayai kegiatan yang telah direncanakan secara partisipatif bersama masyarakat desa. Tidak ada potongan
dan pungli di dalamnya. Jika diibaratkan sebuah batu, dana BLM PPK adalah batu
kali yang apabila dibawa dari pusat tetap berbentuk batu kali ketika sampai ke
desa, bukan batu es di mana ketika sampai di desa, masyarakat hanya mendapat
sisa lelehannya.
Kelima, hasil program. PPK adalah program pemerintah
yang banyak dicontoh dan diadopsi. Tidak saja oleh pemerintah daerah, tapi juga
oleh negara lain. Hasil pembangunan infrastruktur, yang secara spesifikasi dan
kualitas sama dengan proyek infrastruktur yang dibangun oleh kontraktor, namun
dengan nominal yang jauh lebih murah, bahkan tiga kali lipat lebih rendah dari
yang biasa dibangun kontraktor, menjadi salah satu alasan mengapa PPK banyak
direplikasi menjadi program pemerintah daerah.
Proses perencanaan yang partisipatif, taat pada
prinsip, prosedur, dan aturan progam yang kemudian menghasilkan
kegiatan-kegiatan yang benar-benar dibutuhkan masyarakat dalam mengatasi
masalah hidupnya, menjadi hal yang menarik banyak negara untuk belajar dan
membuat program semacam PPK. Tercatat ada banyak negara yang datang, seperti
Bangladesh, Pakistan, Afghanistan, India, Srilanka, Filipina, dan beberapa
negara lainnya. Bahkan, Filipina berkali-kali mengirimkan ahli-ahinya untuk
belajar tentang PPK. Konon, ketika bertemu dengan Presiden Megawati, Presiden
Filipina Cory Aquino secara khusus menyampaikan kekaguman karena Indonesia
mempunyai program yang bagus seperti PPK dan berterima kasih karena negaranya
banyak belajar dari program tersebut.
Untuk masyarakat desa sendiri, secara umum, hasil PPK tentu
sangat dirasakan manfaatnya, walaupun harus diakui ada beberapa hasil dari
kegiatan PPK yang mengecewakan dan tak termanfaatkan. Banyak kegiatan PPK yang
hasilnya spektakuler dan mencengangkan. Tapi, satu kelemahan dari pelaksana
progam, termasuk penulis, kurang mampu mendokumentasikan dan menampilkan kisah
sukses PPK ke banyak pihak di negeri ini.
Penulis sendiri pernah sangat takjub pada kegiatan
penyediaan sarana air bersih di suatu desa di atas bukit yang penulis tak ingat
lagi namanya, di satu kecamatan di Kabupaten Dompu, NTB, dengan cara
mengalirkan air dari sumber mata air dari desa lain di kaki bukit. Air
dialirkan melalui pipa-pipa yang disanggah tiang-tiang bambu melewati jalanan
menanjak ke arah bukit dan berkelok dengan jarak tak kurang dari dua kilo
meter.
Logika awam penulis tak mampu mencerna penjelasan
tentang teknologi yang digunakan fasilitator PPK setempat untuk mengalirkan air
tersebut. Hanya satu yang penulis tahu, air itu benar-benar mengalir dan
memberikan kebahagiaan pada penduduk desa di atas bukit karena penantian
berpuluh-puluh tahun lamanya tunai sudah.
Seorang ibu setengah baya bercerita dengan haru, sejak
70-an mereka mengusulkan penyediaan air bersih kepada pemerintah. Namun, baru
di tahun 2006 terlaksana berkat PPK. Sayangnya, cerita ini mengendap di ingatan
penulis saja. Dalam database PPK, kegiatan ini hanya tercatat sebagai kegiatan
penyediaan sarana air bersih, tidak lebih dan tidak kurang. Penulis berharap, semoga saja air tetap
menggalir hingga sekarang.
Dari PPK ke PNPM
Lantas bagaimana ketika PPK berganti dengan PNPM MPd?
Secara konsep, tidak banyak yang berubah. Alur dan tahapan kegiatan pun masih
sama. Hanya cakupan wilayah dan nilai BLM yang samakin besar jumlahnya yang
membedakan. Kalau diukur dengan lima keunggulan PPK, penulis menilai terjadi
penuruan pada poin kedua. Pandangan
pelaksana program terhadap pengaduan dan masalah telah berubah.
Penanganan masalah sebagai wahana pemberdayaan kurang dimanfaatkan. Masalah
penyimpangan prinsip dan prosedur serta intervensi negatif sudah tidak banyak,
bahkan tidak dilaporkan lagi. Ruang advokasi yang tersisa hanya pada proses
penanganan masalah penyimpangan dana saja.
Selain penuruan nilai di satu poin di atas, empat
keunggulan PPK lainnya menurut penulis tetap menjadi keunggulan PNPM MPd. SPP,
meskipun tidak banyak terbentuk kelompok executing, pemupukan modal di UPK yang
mencapai 12 Triliun di seluruh Indonesia adalah hal yang membanggakan. Tidak
ada satupun program kegiatan dana bergulir yang pernah dilaksanakan pemerintah
tetap eksis dan berjalan hingga sekarang seperti yang terjadi di PNPM MPd. UPK,
meskipun berada di kecamatan, dananya cukup mudah diakses kelompok SPP di desa.
Kode etik fasilitator dan konsultan tetap tajam.
Sanksi PHK bagi pelanggaran kode etik tetap tegas dilaksanakan. BLM tetap seperti batu kali. Entah PNPM mana
yang dimaksudkan Adhie Massardie yang menuding bahwa dana PNPM didesain untuk
menjadi bancakan sejak awal dan menjadi lahan korupsi di segala level. Yang
penulis tahu pasti, dana PNPM MPd, sejak bernama PPK , dari zaman Presiden
Suharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, dan terakhir Jokowi, tidak pernah
berubah dari batu kali menjadi batu es.
Penulis tidak menampik bahwa tidak ada penyelewengan
dana yang dilakukan baik oleh fasilitator maupun pelaku dari unsur masyarakat.
Tapi penyelewengan di sini masih pada tahap wajar dan apabila dikalkulasi dari
dana keseluruhan PNPM yang turun dari pemerintah, jumlahnya tidak lebih dari
1%. Terkait dana Rp. 12 triliun milik UPK, adalah merupakan dana hibah
pemerintah ke masyarakat untuk kegiatan SPP yang alokasinya 10% dan meningkat
menjadi 25% dari keseluruhan total BLM yang masuk ke kecamatan. Jika dananya
terhimpun menjadi sebesar sekarang, itu merupakan buah keberhasilan pengelolaan
kegiatan SPP. Dana ini bukan milik pemerintah, tapi seluruh masyarakat
kecamatan.
Terkait hasil program, lihatlah ke desa-desa di
seluruh Indonesia tercinta ini. Akan mudah ditemukan prasasti-prasasti di depan
jalan, jembatan, bangunan sekolah, bangunan untuk layanan kesehatan, dan banyak
bangunan infrastruktur lainnya bertuliskan PNPM Mandiri Perdesaan.
Prasasrati-prasasti itu membuktikan negara hadir di desa. Memanusiawikan
masyarakat desa dengan pembangunan yang mereka rencanakan dan laksanakan sendiri.
Penantian panjang terhadap usulan pembangunan yang tak kunjung terwujud,
meskipun melewati mekanisme Musrenbang, dijawab dengan kehadiran PNPM. Dan,
PNPM seperti manjadi mantra sakti bagi masyarakat desa untuk mengubah nasibnya;
jalanan menuju akses produksi, sarana dan prasarana kesehatan masyarakat,
ruang-ruang sekolah, jembatan penghubung, adalah sebagian kecil kegiatan PNPM
yang mampu mengubah masyarakat desa menjadi lebih sejahtera.
Perahu PNPM
Setelah 8 tahun
PNPM berjalan dan ditambah 10 tahun
pelaksanaan PPK, sudah waktunya PNPM naik peraduan. PNPM harus berakhir, bukan
karena memang secara keproyekan berakhir pada 2015, tetapi harus berakhir agar
ada ruang untuk me-recharge makna pemberdayaan yang hakiki, yang mungkin akan
luntur apabila aktivitas pendampingan sudah seperti sebuah rutinitas yang
dihapalkan.
Karena program terlalu lama dijalankan, roh
pemberdayaan bisa menjadi luntur dan kegiatan pemberdayaan menjadi tak
bermakna. Harus ada ruang juga untuk me-recheck apakah proses pemberdayaan yang
terjadi selama ini telah memperkuat atau melemahkan modal sosial yang ada di
masyarakat.
Implementasi UU Desa (UU No. 6/2014) menjadi momentum
berakhirnya PNPM. Sesungguhnya, diakui atau tidak, pelaksanaan PNPM menjadi inspirasi bagi para penggagas UU Desa
dalam merumuskan UU tersebut. Pengakuan tidak malu-malu disampaikan Budiman
Sudjatmiko, inisiator UU Desa, yang menegaskan bahwa pemberdayaan dalam PNPM
menjadi rujukan para legislator di Komisi II DPR dalam membuat UU Desa.
Menurutnya, UU Desa merupakan PNPM plus. Plus karena dari segi besaran anggaran
dan berkesinambungan karena UU harus dijalankan siapa pun yang berkuasa.
Selain pernyataan Budiman, dari ruang-ruang publik yang selama ini penulis ikuti, senyatanya UU Desa memang disiapkan sebagai pelabuhan terakhir dari perjalanan panjang PNPM (Perdesaan). Perahu untuk ke sana telah lama dipersiapkan. Terakomodasinya syarat pendamping dana desa harus memiliki sertifikasi kompetensi yang tertuang dalam Pasal 129 ayat (2) PP Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa salah satu contohnya.
Sebagaimana diketahui, pelaku PNPM MPd di tingkat
pusat, yang dimotori Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Desa (Ditjen
PMD) Kemendagri, dan Ikatan Pelaku Pemberdayaan Masyarakat Indonesia (IPPMI)
serta didukung pendanaannya oleh World Bank, telah menginisiasi pembentukan
Badan Nasional Sertifikasi Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat (BNSP).
Terlepas dari pro dan kontra terhadap perlu tidaknya
fasilitator disertifikasi, karena masih menyisakan perdebatan apakah
fasilitator adalah sebuah profesi atau bukan, ide pembentukan Lembaga
Sertifikasi Profesi Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat (LSP-FPM) patut diapresiasi. Pengalaman selama
mengelola PPK dan PNPM MPd yang harus menganggarkan ratusan miliaran rupiah
untuk kegiatan pelatihan fasilitator yang banyak diisi dengan muatan materi
pemahaman dan teknik pemberdayaan dan pendampingan masyarakat dinilai Ditjen
PMD sebagai pemborosan uang negara.
Seyogianya, proses rekrutmen telah menjaring calon
fasilitator yang memiliki pengalaman pemberdayaan dan memilki kompetensi dan
kualifikasi pendampingan. LSP-FPM inilah kemudian diharapkan menjadi lembaga
yang akan mencetak fasililator-fasilitator andal yang tersertifikasi dan siap
diterjunkan ke masyarakat. Sayangnya, aturan bahwa pendamping dana desa harus
bersertifikat diubah dengan diterbitkannya PP No. 47 Tahun 2015.
Sayangnya lagi, di akhir pelaksanaanya, PNPM MPd tidak berakhir "khusnul khotimah".
Pada akhir 2014, perahu PNPM MPd oleng dihantam ombak. Strategi yang telah
disusun untuk menyandarkan perahu dengan mulus di pelabuhan menjadi berantakan.
Keputusan Presiden Joko Widodo untuk membentuk kementerian yang fokus mengurusi
desa guna menjalankan amanah implementasi UU Desa menyebabkan Ditjen PMD
terpaksa menghentikan pelaksanaan PNPM MPd secara mendadak. Rencana pengakhiran
PNPM MPd di tahun 2015 kemudian dilaksanakan di Kementerian Desa.
Tanpa Diskriminasi
Kembali pada penolakan rencana seleksi ulang bagi
pendamping dana desa yang berlatar belakang PNPM MPd di atas, secara pribadi,
dengan dasar pertimbangan efektivitas dan efisiensi, penulis menyampaikan bahwa
seleksi tersebut tidak perlu dilakukan sekarang. Proses seleksi membutuhkan waktu dan sumber daya yang tidak
sedikit. Padahal, Menteri Marwan Jafar dalam banyak kesempatan menyampaikan
bahwa dana desa sudah akan turun pada Maret 2016.
Sebaiknya Kementerian Desa menyudahi
"konflik" ini dengan memperpanjang kontrak mereka. Toh mereka tidak
minta perpanjang secara gratis. Mereka siap dievaluasi. Tentu dengan instrumen
evaluasi yang transparan dan akuntabel.
Dengan demikian, energi lembaga kementerian yang usianya masih seumur jagung ini bisa
digunakan untuk melakukan pembenahan internal. Masih banyak persoalan-persoalan
internal kelembagaan yang perlu dibenahi dan ditata. Sembari itu, lembaga organik
di kementerian yang mengurusi dana desa dapat menyusun langkah dan strategi
menyeluruh dalam melakukan pendampingan penggunaan dana desa, termasuk di
dalamnya strategi pengelolaan SDM-nya.
Jika strategi itu hendak dijalankan, dan salah satu
cara untuk mencapai tujuan adalah harus dilakukan rekrutmen ulang terhadap
pendamping dana desa, maka lakukan rekrutmen ulang tanpa harus membedakan latar
belakang pendamping dari PNPM atau bukan PNPM.
Widya W. Harun, Penulis adalah Konsultan PNPM; Penulis Novel Batavia 1936, Mendung di Langit Menteng
Mari kita sudahi saja segala pertentangan dan
perdebatan yang ada, lebih baik kita satukan visi bersama dalam mengemban
amanah Undang-Undang Desa No 6/2014. Seperti dikatakan Borni Kurniawan, tugas berat bagi seorang pendamping
adalah mendampingi desa menemukan formula perencanaan dan pembelanjaan anggaran
publik yang berpihak pada kebutuhan strategis penanggulangan kemiskinan,
penciptaan ekonomi kerakyatan, pemenuhan hak dasar masyarakat.
Sumber: detik.com
data dan fakta menunjukan bahwa memang rekrutmen pendamping desa tahun 2015 penuh dgn intrik..
BalasHapus